Sunday 10 May 2009

Risalah Tarbiah - Dosa dan Bahaya Riba


Dari Jabir radhiyallahu 'anhu beliau berkata, Rasulullah shallahu 'alahi wasallam bersabda, "Allah melaknat orang yang memakan (pemakai) riba, orang yang memberi riba, dua orang saksi dan pencatat (dalam transaksi riba), mereka sama saja". (HR. Muslim dan Ahmad)

Hadith yang mulia ini menjelaskan secara tegas tentang keharaman riba,
bahaya yang ditimbulkan bagi pribadi dan masyarakat, serta ancaman bagi
mereka yang berkecimpung dalam kubangan dosa riba, sebab Rasulullah saw menyebutkan laknat bagi orang- orang yang bersyerikat di dalamnya.

Akibat dari dosa riba ini telah dirasakan oleh banyak kalangan baik muslim
mahupun non muslim, karana riba merupakan kezaliman yang sangat jelas dan
nyata. Sehingga wajar bagi Allah subhanahu wata'ala dan Rasul-Nya shallahu
'alahi wasallam mengancam orang-orang yang telibat di dalamnya dengan
berbagai ancaman. Di antaranya adalah dengan azab yang pedih, sebagaimana
firman Allah subhanahu wata'ala,
"Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit
gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata
(berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah
telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah
sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu terus berhenti (dari mengambil
riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang
larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Dan barang siapa yang
mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka;


mereka kekal di dalamnya". (QS. Al-Baqarah:275).

Allah subhanahu wata'ala juga menghilangkan keberkahan harta dari hasil riba

dan pelakunya dicap melakukan tindakan kekufuran, sebagaimana firman-Nya,
"Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai
setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa". (QS.
Al-Baqarah:276)

Allah subhanahu wata'ala memerangi riba dan pelakunya, sebagaimana
dijelaskan dalam firman-Nya,
"Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah
bahwa Allah dan Rasulnya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari
pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan
tidak (pula) dianiaya". (QS. Al-Baqarah:279)

Selain ancaman dari Al-Qur'an di atas, Rasulullah shallahu 'alahi wasallam
juga menjelaskan bahaya riba dan sekaligus mengancam pelakunya, sebagaimana
telah dijelaskan dalam hadits Jabir di atas.

Rasulullah shallahu 'alahi wasallam juga bersabda, "Jauhilah tujuh dosa
besar yang membawa kepada kehancuran," lalu beliau sebutkan salah satunya
adalah memakan riba. (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Dalam hadits yang lain Nabi shallahu 'alahi wasallam mengancam pelaku riba
dengan lebih tegas, beliau bersabda,
"Dosa riba memiliki 72 pintu, dan yang paling ringan adalah seperti
seseorang berzina dengan ibu kandungnya sendiri." (Shahih, Silsilah Shahihah

no.1871)

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh imam Hakim dan dishahihkan oleh beliau
sendiri, dijelaskan, "Bahwa satu dirham dari hasil riba jauh lebih besar
dosanya daripada berzina 33 kali".

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh imam Ahmad dengan sanad yang shahih
dijelaskan, "Satu dirham yang dimakan oleh seseorang dari hasil riba dan dia

paham bahwa itu adalah hasil riba maka lebih besar dosanya daripada berzina
36 kali".

Bentuk Riba
Riba dibagi menjadi dua bentuk;

1. Riba Nasi`ah, yang bererti mengakhirkan masa pembayaran, ini terbagi
menjadi dua;

Pertama; Seseorang atau perusahaan tertentu memberikan pinjaman kepada
seorang peminjam dengan membayar bunga sekian peratus dalam jangka waktu
tertentu dan dibayar dalam bentuk angsuran. Misalnya; seorang nasabah
meminjam wang ke salah satu bank sebanyak Rm100 ribu dengan bunga 10% dalam

jangka waktu 10 bulan, maka setiap bulan pihak nasabah harus membayar
hutangnya Rm11 ribu, jadi selama 10 bulan itu dia harus membayar Rm.110
ribu.

Kedua; Pihak nasabah membayar tambahan bunga baru dari bunga sebelumnya
disebabkan karena tertundanya pembayaran pinjaman setelah jatuh tempo.
Semakin lama tertunda pinjaman itu, maka semakin banyak tumpukan hutang yang

harus ditanggung oleh pihak nasabah. Dalam kacamata Islam riba ini disebut
riba jahiliyyah. Misalnya si A meminjam uang ke bank B sebanyak Rp. 100 juta

dengan bunga 10% dalam jangka waktu 10 bulan, setiap bulannya pihak peminjam

harus membayar Rm11 ribu, maka selama 10 bulan itu dia dikehandaki
membayar Rm110 ribu, jika dia tidak menunda pembayaran (ini sudah jelas
riba). Tapi jika sudah jatuh tempoh yang dia belum boleh melunaskan hutangnya
maka hutangnya berbunga 15% dan begitu seterusnya (dalam kondusi seperti ini telah terhimpun dua bentuk riba sekaligus yaitu riba nasi`ah dan riba fadhl), dan inilah yang berlaku di bank-bank konvesional yang disebut dengan istilah bunga.

2. Riba Fadhl, yaitu jual beli dengan sistem barter pada barang yang sejenis

tapi timbangannya berbeda, misalnya si A menjual 15 gram emas"perhiasan"
kepada si B dengan 13 gram emas, ini adalah riba karana jenis
barangnya sama tapi timbangannya berbeza. Contoh kedua; menjual dengan
sistem barter 1 lembar wang kertas benilai Rm100.000,- dengan wang kertas
pecahan seribu senilai Rm95.000,- atau 110.000,-.

Bekerja di Tempat/Lembaga Riba

Syaikh Shalih al-Fauzan ketika ditanya tentang bekerja di perusahaan yang
bertransaksi dengan riba berkata, "Bertransaksi dengan riba haram hukumnya
bagi perusahaan, bank dan individu. Tidak boleh seorang muslim bekerja pada
tempat yang bertransaksi dengan riba meskipun persentase transaksinya minim
sekali sebab pegawai pada instansi dan tempat yang bertransaksi dengan riba
bererti telah bekerja sama dengan mereka di atas perbuatan dosa dan
melampaui batas. Orang-orang yang bekerja sama dan pemakan riba, sama-sama
tercakup dalam laknat yang disabdakan oleh Rasulullah shallahu 'alahi
wasallam, "Allah telah melaknat pemakan riba, orang yang memberi makan
dengan (hasil) riba, pencatatnya serta kedua saksinya". (HR.Muslim). Beliau
bersabda lagi, "Mereka itu semua sama saja." (dalam andil menjalankan riba,
red).

Jadi disini, betapa Allah melaknat orang-orang yang memberi makan dengan (hasil) riba, saksi dan pencatat karana mereka bekerja sama dengan pemakan riba itu.
Karenanya wajib bagi anda untuk mencari pekerjaan yang jauh dari hal itu.
Allah subhanahu wata'ala berfirman (artinya), "Barangsiapa yang bertakwa
kepada Allah, niscaya Dia akan menjadikan baginya jalan keluar dan
menganugerahi nya rizki yang tidak dia sangka-sangka". (Q,.s.ath-Thalaq: 2).

Dan sabda Nabi saw, "Barangsiapa meninggalkan sesuatu karana Allah Ta'ala maka Allah akan menggantikan dengan yang lebih baik darinya". (HR. Ahmad). (Al-Muntaqa Min Fatawa Syaikh Shalih al-Fauzan,
Jld.IV, Hal. 142-143, No. 148)


Impak Negatif Riba Bagi Pribadi dan Masyarakat


a.. Sebagai bentuk maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, Rasulullah saw bersabda, "Setiap umatku dijamin masuk surga kecuali yang enggan". Para shahabat bertanya, "Siapa yang enggan masuk surga wahai Rasulullah?". Beliau menjawab, "Barangsiapa yang ta'at kepadaku pasti masuk syurga dan barangsiapa yang berbuat maksiat (tidak ta'at) kepadaku itulah orang yang enggan (masuk surga)". (HR.al-Bukhari)

b.. Ibadah haji, shadaqah dan infak dalam bentuk apapun tidak diterima
oleh Allah subhanahu wata'ala kalau berasal dari hasil riba, Rasulullah
shallahu 'alahi wasallam bersabda dalam hadits yang shahih, "Sesunguhnya
Allah itu baik dan Dia tidak menerima kecuali dari hasil yang baik".

c.. Allah subhanahu wata'ala tidak mengabulkan doa orang yang memakan
riba, Rasulullah shallahu 'alahi wasallam bersabda, "Ada seorang yang
menengadahkan tangannya ke langit berdo'a, "Ya Rabbi, Ya Rabbi, sementara
makanannya haram, pakaiannya haram, dan daging yang tumbuh dari hasil yang
haram, maka bagaimana mungkin do'anya dikabulkan." (HR.Muslim)

d.. Hilangnya keberkahan umur dan membuat pelakunya melarat, Rasulullah saw bersabda, "Tidaklah seseorang memperbanyak harta kekayaan dari hasil riba, melainkan berakibat pada kebangkrutan dan melarat." (HR.Ibnu Majah).

e.. Sistem riba menjadi sebab utama kehancuran negara dan bangsa.
Realiti menjadi saksi bahwa negara kita kini mengalami krisis ekonomi dan
keadilan yang tidak stabil karana penerapan sistem riba, ini disebabkan para
petualang riba memindahkan simpanan kekayaan mereka ke negara-negara yang
memiliki ekonomi kuat untuk memperoleh bunga riba tanpa memikirkan
maslahat di dalam negeri sendiri, sehingga negara kini mengalami pertumbuhan yang lembab.

f.. Pengembangan kewangan dan ekonomi dengan sistem riba merupakan
penjajahan ekonomi secara sistematik dan diselubungi oleh negara-negara
pemilik modal, dengan cara pemberian pinjaman lunak. Ini akan menyebabkan hilangnya atau lenyap bangsa kita untuk menopoli ekonomi negara sendiri.

g.. Memakan riba menjadi sebab utama su`ul khatimah, karana riba ini merupakan
bentuk kezaliman yang menyengsarakan orang lain, dengan cara menghisap
"darah dan keringat" pihak peminjam, itulah yang disebut rentenir atau
lintah darat.

h.. Pemakan riba akan bangkit di hari Kiamat kelak seperti orang gila dan
kesurupan. Ayat yang menyebutkan tentang hal ini, menurut Syaikh Muhammad
al-Utsaimin memiliki dua pengertian, yakni di dunia dan di hari Kiamat
kelak. Beliau menjelaskan bahwa jika ayat itu mengandungi dua makna, maka
dapat diertikan dengan keduanya secara bersamaan. Yakni mereka di dunia
seperti orang gila dan kesurupan serta bertingkah laku seperti orang kerasukan
syaitan (tidak peduli dan mementingkan diri). Demikian pula di Akhirat
mereka bangun dari kubur juga dalam keadaan seperti itu.

Sedangkan mengenai ayat, "Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah,"
maka beliau mengatakan kehancuran materi (hakiki) dan maknawi. Kehancuran
materi seperti tertimpa bencana dalam hartanya sehingga habis,

misalya sakit yang parah dan memelukan perbelanjaan yang besar, atau keluarganya yang
sakit, kecurian (dirompak), terbakar dan lain-lain, ini merupakan hukuman
dunia. Atau binasa secara maknawi, dalam erti kata dia memiliki harta yang
bertumpuk-tumpuk tetapi seperti orang fakir karana hartanya tidak memberi
manfaat apa-apa. Apakah orang seperti ini kita katakan memiliki harta?

Tentu tidak, bahkan ia lebih buruk daripada orang fakir, kerana harta yang
diperolehi adalah sedikit demi sedekit yang ada di sisinya, dan hanya disimpan untuk ahli warisnya sahaja. Sementara mereka tidak dapat mengambil manfaat darinya sedikit pun. Inilah kebinasaan harta riba secara maknawi.

0 comments:

Post a Comment

 

Type Risalah Copyright © 2008 Art Template by Rois's Blogger Template